KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Keselamatan
Kerja
Menurut Ernawati (2009), keselamatan
kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan peralatan, tempat
kerja dan lingkungan, serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Keselamatan kerja menjadi aspek yang sangat penting, mengingat
resiko bahayanya dalam penerapan teknologi. Keselamatan kerja merupakan tugas
semua orang yang bekerja, setiap tenaga kerja dan juga masyarakat pada
umumnya.
Keselamatan kerja adalah membuat kondisi
kerja yang aman dengan dilengkapi alat-alat pengaman, penerangan
yang baik, menjaga lantai dan tangga bebas dari air, minyak, nyamuk
dan memelihara fasilitas air yang baik (Tulus Agus, 1989). Menurut
Malthis dan Jackson (2002), keselamatan kerja menunjuk pada perlindungan
kesejahteraan fisik dengan dengan tujuan mencegah terjadinya kecelakaan
atau cedera terkait dengan pekerjaan. Muhammad Sabir (2009)
mendefinisikan, keselamatan kerja adalah keselamatan yang
berhubungan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengelolaannya,
landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi, baik
barang maupun jasa. Pendapat lain menyebutkan bahwa keselamatan
kerja
berarti proses
merencanakan dan mengendalikan situasi yang berpotensi menimbulkan kecelakaan
kerja melalui persiapan prosedur operasi standar yang menjadi acuan
dalam bekerja (Rika Ampuh Hadiguna, 2009). Roy Erickson (2009) membagi
unsur-unsur penunjang keselamatan kerja sebagai berikut:
1. Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan
kerja yang dijelaskan sebelumnya.
2. Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan
kesehatan kerja.
3. Melaksanakan prosedur kerja dengan
memperhatikan keamanan dan kesehatan kerja.
4. Teliti dalam bekerja.
Kecelakaan
Kerja
Menurut Rika Ampuh Hadiguna (2009),
kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka
melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan, yang terjadi secara tiba-tiba,
tidak diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan
sampai yang paling berat, dan bias menghentikan kegiatan pabrik secara total.
Penyebab kecelakaan kerja dapat dikategorikan menjadi dua:
1. Kecelakaan yang disebabkan oleh tindakan
manusia yang tidak melakukan tindakan penyelamatan. Contohnya, pakaian kerja,
penggunaan peralatan pelindung diri, falsafah perusahaan, dan lain-lain.
2. Kecelakaan yang disebabkan oleh keadaan
lingkungan kerja yang tidak aman. Contohnya, penerangan, sirkulasi
udara, temperatur, kebisingan, getaran, penggunaan indikator warna, tanda
peringatan, sistem upah, jadwal kerja, dan lain-lain (Rika Ampuh
Hadiguna, 2009).
Husni (2005)
menyatakan bahwa keselamatan kerja bertalian dengan kecelakaan kerja, yaitu
kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau dikenal dengan istilah
kecelakaan industri. Kecelakaan industri ini secara umum dapat diartikan
sebagai suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang
mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas. Ada 4 (faktor)
penyebabnya, yaitu:
a. Faktor manusianya.
b. Faktor material/ bahan/ peralatan.
c. Faktor bahaya/ sumber bahaya
d. Faktor yang dihadapi (pemeliharaan/ perawatan
mesin-mesin)
Disamping ada
sebabnya, maka suatu kejadian juga akan membawa akibat. Menurut Lalu
Husni (2005), akibat dari kecelakaan industri ini dapat dikelompokkan
menjadi dua,
yaitu:
1. Kerugian yang bersifat ekonomis, yaitu:
a. Kerusakan/ kehancuran mesin, peralatan, bahan
dan bangunan
b. Biaya pengobatan dan perawatan korban
c. Tunjangan kecelakaan
d. Hilangnya waktu kerja
e. Menurunnya jumlah maupun mutu produksi
2. Kerugian yang bersifat non ekonomis
Pada
umumnya berupa penderitaan manusia yaitu tenaga kerja yang bersangkutan,
baik itu merupakan kematian, luka/ cidera berat, maupun luka ringan.
Kesehatan
Kerja
Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu
kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang
sempurna baik fisik, mental maupun sosial (Lalu Husni, 2005). Selain itu,
kesehatan kerja menunjuk pada kondisi fisik, mental dan stabilitas emosi secara
umum dengan tujuan memelihara kesejahteraan individu secara menyeluruh (Malthis
dan Jackson, 2002). Sedangkan menurut Prabu Mangkunegara (2001) pengertian
kesehatan kerjaadalah kondisi bebas dari gangguan fisik, mental, emosi atau
rasa sakit yang disebakan lingkungan kerja.
Kesehatan kerja di perusahaan adalah
spesialisasi dalam ilmu kesehatan beserta prakteknya dengan mengadakan penilaian
kepada faktor-faktor penyebab penyakit dalam lingkungan kerja dan perusahaan
melalui pengukuran yang hasilnya dipergunakan untuk dasar tindakan korektif dan
bila perlu pencegahan kepada lingkungan tersebut, agar pekerja dan masyarakat
sekitar perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja, serta dimungkinkan untuk
mengecap derajat kesehatan setinggi-tinginya (Muhammad Sabir, 2009). Roy
Erickson (2009) mendefinisikan kesehatan kerja sebagai suatu kondisi kesehatan
yang bertujuan agar masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani maupun sosial, dengan usaha pencegahan
dan pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh
pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum.
Kesehatan dalam ruang lingkup
keselamatan dan kesehatan kerja tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan
bebas dari penyakit. Menurut Undang-undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960,
Bab I Pasal 2, keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnaan yang meliputi keadaan
jasmani, rohani dan kemasyarakatan, dan bukan hanya keadaan yang
bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan-kelemahan lainnya.
Menurut
Veithzal Rivai (2003) pemantauan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. Mengurangi timbulnya penyakit.
Pada
umumnya perusahaan sulit mengembangkan strategi untuk mengurangi timbulnya
penyakit-penyakit, karena hubungan sebab-akibat antara lingkungan fisik dengan
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan sering kabur. Padahal,
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan jauh lebih merugikan, baik
bagi perusahaan maupun pekerja.
2. Penyimpanan catatan tentang lingkungan kerja.
Mewajibkan perusahaan untuk
setidak-tidaknya melakukan pemeriksaan terhadap kadar bahan kimia yang terdapat
dalam lingkungan pekerjaan dan menyimpan catatan mengenai informasi yang
terinci tersebut. Catatan ini juga harus mencantumkan informasi tentang
penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dan jarak yang aman dan pengaruh
berbahaya bahan-bahan tersebut.
3. Memantau kontak langsung.
Pendekatan yang pertama dalam
mengendalikan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan adalah dengan
membebaskan tempat kerja dari bahan-bahan kimia atau racun. Satu pendekatan
alternatifnya adalah dengan memantau dan membatasi kontak langsung terhadap
zat-zat berbahaya.
4. Penyaringan genetik.
Penyaringan genetik adalah pendekatan
untuk mengendalikan penyakit-penyakit yang paling ekstrem, sehingga sangat
kontroversial. Dengan menggunakan uji genetik untuk menyaring individu-individu
yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu, perusahaan dapat mengurangi
kemungkinan untuk menghadapi klaim kompensasi dan masalah-masalah yang terkait
dengan hal itu.
Menurut
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, kesehatan
kerja bertujuan untuk:
1. Memberi bantuan kepada tenaga kerja.
2. Melindungi tenaga kerja dari gangguan
kesehatan yang timbul dari pekerjaan dan lingkungan kerja.
3. Meningkatkan kesehatan.
4. Memberi pengobatan dan perawatan serta
rehabilitasi (Corie Catarina, 2009).
Penyakit Kerja
Penyakit kerja adalah kondisi abnormal
atau penyakit yang disebabkan oleh kerentanan terhadap faktor lingkungan yang
terkait dengan pekerjaan. Hal ini meliputi penyakit akut dan kronis
yang disebakan oleh pernafasan, penyerapan, pencernaan, atau kontak langsung
dengan bahan kimia beracun atau pengantar yang berbahaya (Dessler, 2007).
Masalah kesehatan karyawan sangat beragam dan kadang tidak tampak. Penyakit ini
dapat berkisar mulai dari penyakit ringan seperti flu, hingga penyakit yang
serius yang berkaitan dengan pekerjaannya (Malthis dan Jackson, 2002).
Schuler dan
Jackson (1999) menjelaskan bahwa dalam jangka panjang, bahaya-bahaya
di lingkungan tempat kerja dikaitkan dengan kanker kelenjar tiroid,
hati, paru-paru, otak dan ginjal; penyakit paru-paru putih, cokelat, dan hitam;
leukimia; bronkitis; emphysema dan lymphoma; anemia plastik dan kerusakan
sistem saraf pusat; dan kelainan-kelainan reproduksi (misal kemandulan,
kerusakan genetic, keguguran dan cacat pada waktu lahir).
Menurut
Bennet Silalahi (1995) perusahaan mengenal dua kategori penyakit yang diderita
tenaga kerja, yaitu:
1. Penyakit umum
Merupakan penyakit yang mungkin dapat
diderita oleh semua orang, dan hal ini adalah tanggung jawab semua anggota
masyarakat, karena itu harus melakukan pemeriksaan sebelum masuk kerja.
2. Penyakit akibat kerja
Dapat timbul setelah karyawan yang
tadinya terbukti sehat memulai pekerjaannya. Faktor penyebab bisa terjadi dari
golongan fisik, golongan kimia, golongan biologis, golongan fisiologis dan
golongan psikologis.
Program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Menurut Rizky Argama (2006), program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu sistem program yang dibuat
bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya
kecelakaan dan penyakit kerja akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja
dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan
penyakit kerja akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila
terjadi hal demikian. Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu
sistem yang dirancang untuk menjamin keselamatan yang baik pada semua personel
di tempat kerja agar tidak menderita luka maupun menyebabkan penyakit
di tempat kerja dengan mematuhi/ taat pada hukum dan aturan keselamatan dan
kesehatan kerja, yang tercermin pada perubahan sikap menuju keselamatan di
tempat kerja (Rijuna Dewi, 2006).
Dessler (1992)
mengatakan bahwa program keselamatan dan kesehatan kerja diselenggarakan karena
tiga alasan pokok, yaitu:
1. Moral. Para pengusaha menyelenggarakan upaya
pencegahan kecelakaan dan penyakit kerja pertama sekali semata-mata
atas dasar kemanusiaan. Mereka melakukan hal itu untuk memperingan penderitaan
karyawan dan keluarganya yang mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
2. Hukum. Dewasa ini, terdapat berbagai
peraturan perundang-undangan yang mengatur ikhwal keselamatan dan kesehatan
kerja, dan hukuman terhadap pihak-pihak yang melanggar ditetapkan cukup berat.
Berdasarkan peraturan perundang- undangan itu, perusahaan dapat dikenakan
denda, dan para supervisor dapat ditahan apabila ternyata bertanggungjawab atas
kecelakaan dan penyakit fatal.
3. Ekonomi. Adanya alasan ekonomi karena biaya
yang dipikul perusahaan dapat jadi cukup tinggi sekalipun kecelakaan dan
penyakit yang terjadi kecil saja.
Asuransi
kompensasi karyawan ditujukan untuk member ganti rugi kepada pegawai yang
mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Menurut Sjafri Mangkuprawira
dan Aida V. Hubeis (2007), secara umum program keselamatan dan kesehatan kerja
dapat dikelompokkan:
1. Telaahan Personal
Telaahan
personal dimaksudkan untuk menentukan karakteristik karyawan tertentu yang
diperkirakan rawan dan berpotensi mengalami kecelakaan dan penyakit kerja:
a. Faktor usia, apakah karyawan yang berusia
lebih tua cenderung lebih aman dibanding yang lebih muda ataukah sebaliknya.
b. Ciri-ciri fisik karyawan, seperti potensi
pendengaran dan penglihatan yang cenderung berhubungan dengan derajad
kecelakaan karyawan yang kritis.
c. Tingkat pengetahuan dan kesadaran karyawan
tentang pentingnya pencegahan dan penyelamatan dari kecelakaan dan
penyakit kerja.
Dengan
mengetahui ciri-ciri personal itu maka perusahaan dapat memprediksi siapa saja
karyawan yang potensial untuk mengalami kecelakaan dan penyakit
kerja, lalu sejak dini perusahaan dapat menyiapkan upaya-upaya pencegahaanya.
2. Sistem Insentif
Insentif yang
diberikan kepada karyawan dapat berupa uang dan bahkan karir. Dalam bentuk uang
dapat dilakukan melalui kompetisi antar-unit tentang keselamatan dan kesehatan
kerja dalam kurun waktu tertentu, misalnya selama enam bulan sekali. Siapa yang
mampu menekan kecelakaan dan penyakit kerja sampai titik terendah akan
diberikan penghargaan. Bentuk lain adalah berupa peluang karir bagi para
karyawan yang mampu menekan kecelakaan dan penyakit kerja bagi dirinya atau
bagi kelompok karyawan di unitnya.
3. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pelatihan
keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan biasa dilakukan oleh perusahaan.
Fokus pelatihan pada umumnya pada segi-segi bahaya atau risiko dari pekerjaan,
aturan dan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja, dan perilaku kerja yang
aman dan berbahaya.
4. Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Perusahaan
perlu memiliki semacam panduan yang berisi peraturan dan aturan yang menyangkut
apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh karyawan di tempat kerja. Isinya
harus spesifik yang memberi petunjuk bagaimana suatu pekerjaan dilakukan dengan
hati-hati untuk mencapai keselamatan dan kesehatan kerja maksimum. Sekaligus
dijelaskan beberapa kelalaian kerja yang dapat menimbulkan bahaya individu dan
kelompok karyawan serta tempat kerja.
Ernawati
(2009) menyebutkan bahwa penerapan program K3 harus sesuai dengan prosedur yang
benar. Sebagai contoh kegiatan penerapan pemadaman kebakaran dan prosedur kerja
dilakukan berdasarkan SOP (Standard Operation Procedures), peraturan
K3L (Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan), dan prosedur/
kebijakan perusahaan, yang meliputi:
a. Prosedur perlindungan mesin diikuti pada saat
tanda bahaya muncul.
b. Prosedur peringatan/ evakuasi diikuti di
tempat kerja.
c. Prosedur gawat darurat diikuti secara
professional dengan tepat untuk melindungi mesin pada saat keadaan tanda bahaya
muncul.
Muhammad
Sabir (2009) mengatakan, prosedur penerapan program K3 perlu dikuasai oeh semua
pihak karena ada beberapa faktor yang peru diperhatikan, antara lain:
1. Bahaya pada area kerja dikenali dan dilakukan
tindakan pengontrolan yang tepat.
2. Kebijakan yang sah pada tempat kerja dan
prosedur pengontrolan risiko diikuti.
3. Tanda bahaya dan peringatan dipatuhi.
4. Pakaian pengamanan digunakan sesuai dengan SI
(Standar Internasional).
5. Teknik dan pengangkatan/ pemindahan secara
manual dilakukan dengan tepat.
6. Perlengkapan dipilih sebelum melakukan
pembersihan dan perawatan secara rutin.
7. Metode yang aman dan benar digunakan untuk
pembersihan dan pemeliharaan perlengkapan.
8. Peralatan dan area kerja dibersihkan/
dipelihara sesuai dengan keamanan, jadwal pemeliharaan berkala, tempat
penerapan dan spesifikasi pabrik.
Menurut Rizky
Argama (2006) terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam
penyelenggaraan program K3, yaitu:
1. Seberapa serius keselamatan dan kesehatan
kerja hendak diimplementasikan dalam perusahaan.
2. Pembentukan konsep budaya malu dari
masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3 serta keterlibatan berupa
dukungan serikat pekerja dalam pelaksanaan program K3 di tempat
kerja.
3. Kualitas program pelatihan keselamatan dan
kesehatan kerja sebagai sarana sosialisasi.
Tujuan Program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Program keselamatan dan kesehatan kerja
bertujuan untuk memberikan iklim yang kondusif bagi para pekerja untuk
berprestasi, setiap kejadian baik kecelakaan dan penyakit kerja yang
ringan maupun fatal harus dipertanggungjawabkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan
(Rika Ampuh Hadiguna, 2009). Sedangkan menurut Rizky Argama (2006), tujuan dari
dibuatnya program keselamatan dan kesehatan kerja adalah untuk
mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat
hubungan kerja. Menurut Ernawati (2009), tujuan program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) adalah:
1. Melindungi para pekerja dari
kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi akibat kecerobohan
pekerja.
2. Memelihara kesehatan para pekerja untuk
memperoleh hasil pekerjaan yang optimal.
3. Mengurangi angka sakit atau angka kematian
diantara pekerja.
4. Mencegah timbulnya penyakit menular dan
penyakit-penyakit lain yang diakibatkan oleh sesama pekerja.
5. Membina dan meningkatkan kesehatan fisik maupun
mental.
6. Menjamin keselamatan setiap orang yang berada
di tempat kerja.
7. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan
secara aman dan efisien.
Roy Erickson
(2009) menjelaskan, secara singkat tujuan dari diselenggarakannya program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah sebagai berikut:
1. Memelihara lingkungan kerja yang sehat.
2. Mencegah dan mengobati kecelakaan yang
diakibatkan oleh pekerjaan sewaktu bekerja. Mencegah dan mengobati
keracunan yang ditimbulkan dari kerja.
3. Memelihara moral, mencegah dan mengobati
keracunan yang timbul kerja.
4. Menyesuaikan kemampuan dengan pekerjaan.
5. Merehabilitasi pekerja yang cedera atau sakit
akibat pekerjaan.
Malthis dan
Jackson (2002) menyebutkan, keselamatan kerja merujuk pada perlindungan
terhadap kesejahteraan seseorang, dan tujuan utama keselamatan kerja
di perusahaan adalah mencegah kecelakaan atau cedera yang terkait dengan
pekerjaan. Rizky Argama (2006) menjelaskan bahwa keselamatan kerja bertujuan
untuk menyelamatkan kepentingan ekonomis perusahaan yang disebabkan kecelakaan,
untuk selanjutnya menyelamatkan para pekerja serta mencegah terjadinya
kecelakaan di tempat kerja, dengan cara menciptakan keamanan di tempat kerja.
Menurut Suma’mur (1981), tujuan keselamatan kerja adalah:
1. Para pegawai mendapat jaminan keselamatan dan
kesehatan kerja.
2. Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja
dapat digunakan sebaik-baiknya.
3. Agar semua hasil produksi terpelihara
keamanannya.
4. Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan
peningkatan gizi pegawai.
5. Agar dapat meningkatkan kegairahan,
keserasian dan partisipasi kerja.
6. Terhindar dari gangguan kesehatan yang
disebabkan oleh lingkungan kerja.
Agar pegawai
merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
Pelatihan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) adalah pelatihan yang disusun untuk memberi bekal kepada
personil yang ditunjuk perusahaan untuk dapat menerapkan K3 di tempat kerja (www.sucofindo.co.id). Pelatihan
K3 bertujuan agar karyawan dapat memahami dan berperilaku pentingnya keselamatan
dan kesehatan kerja, mengidentifkasi potensi bahaya di tempat kerja, melakukan
pencegahan kecelakaan kerja, mengelola bahan-bahan beracun berbahaya dan
penanggulangannya, menggunakan alat pelindung diri, melakukan pencegahan dan
pemadaman kebakaran serta menyusun program pengendalian keselamatan dan
kesehatan kerja perusahaan (Putut Hargiyarto, 2010).
Jaminan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Jaminan keselamatan dan
kesehatan kerja para tenaga kerja harus diprioritaskan atau
diutamakan dan diperhitungkan agar tenaga kerja merasa ada jaminan atas
pekerjaan yang mereka lakukan, baik yang beresiko maupun tidak. Menurut
Shafiqah Adia (2010), jaminan keselamatan dan kesehatan dapat membuat para
tenaga kerja merasa nyaman dan aman dalam melakukan suatu pekerjaan, sehingga
dapat memperkecil atau bahkan mewujudkan kondisi nihil kecelakaan dan penyakit
kerja.
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh As’ari Batubara (2007) di PT. PERTAMINA
Unit Pemasaran-1 Medan, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positifdan
signifikan antara jaminan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap kinerja
karyawan. Kinerja karyawan yang meningkat akan diikuti pula dengan meningkatnya
produktivitas karyawan
Alat Pelindung
Diri
Dasar hukum dari alat pelindung
diri ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Bab IX Pasal 13 tentang
Kewajiban Bila Memasuki Tempat kerja yang berbunyi: “Barangsiapa akan
memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan
kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.”
Menurut
Muhammad Sabir (2009), alat pelindung diri adalah kelengkapan yang wajib
digunakan saat bekerja sesuai kebutuhan untuk menjaga keselamatan
pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya. Pada umumnya alat-alat tersebut
terdiri dari:
1. Safety Helmet, berfungsi sebagai pelindung kepala dari
benda yang bisa mengenai kepala secara langsung.
2. Tali Keselamatan (Safety Belt), berfungsi
sebagai alat pengaman ketika menggunakan alat transportasi ataupun peralatan
lain yang serupa (mobil, pesawat, alat berat, dan lain-lain)
3. Sepatu Karet (Sepatu Boot), berfungsi
sebagai alat pengaman saat bekerja di tempat yang becek ataupun
berlumpur.
4. Sepatu Pelindung (Safety Shoes), berfungsi
untuk mencegah kecelakaan fatal yang menimpa kaki karena tertimpa benda tajam
atau berat, benda panas, cairan kimia, dan sebagainya.
5. Sarung Tangan, berfungsi sebagai alat
pelindung tangan pada saat bekerja di tempat atau situasi yang dapat
mengakibatkan cedera tangan.
6. Tali Pengaman (Safety Harness), berfungsi
sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian.
7. Penutup Telinga (Ear Plug/ Ear Muff), berfungsi
sebagai pelindung telinga pada saat bekerja di tempat yang bising.
8. Kacamata Pengaman (Safety Glasses), berfungsi
sebagai pelindung mata ketika bekerja (misal mengelas).
9. Masker (Respirator), berfungsi
sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di tempat dengan kualitas
udara yang buruk (misal berdebu, beracun, berasap, dan sebagainya).
10. Pelindung Wajah (Face Shield), berfungsi
sebagai pelindung wajah dari percikan benda asing saat bekerja (misal pekerjaan
menggerinda).
11. Jas Hujan (Rain Coat), berfungsi
melindungi diri dari percikan air saat bekerja (misal bekerja pada saat hujan
atau sedang mencuci alat).
Beban Kerja
Beban kerja adalah sekumpulan atau
sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau
pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu (Adil Kurnia, 2010). Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginanjar Rohmanu Mahwidhi (2007) terhadap
perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.Soeroto Ngawi, menunjukkan bahwa beban
kerja berpengaruh positif terhadap stres kerja. Semakin berat beban kerja yang
ditanggung, maka akan semakin besar risiko perawat yang bekerja di tempat
tersebut terkena stres. Sementara itu, hasil penelitian Heni Febriana dan Rossi
Sanusi (2006) terhadap pegawai Akademi Kebidanan di Pemerintah Kabupaten Kudus
menunjukkan bahwa beban kerja berhubungan negatif dengan kinerja
karyawan.Semakin berat kelebihan beban kerja yang mereka terima, maka
kinerjanya akan semakin menurun.
Jam Kerja
Untuk karyawan yang bekerja 6 hari dalam
seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu
minggu. Sedangkan untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam satu
minggu, kewajiban bekerja mereka adalah 8 jam dalam satu hari dan 40 jam dalam
satu minggu (www.gajimu.com). Hampir satu abad berlalu sejak
standar internasional jam kerja diberlakukan, sebuah studi yang dilakukan oleh
Organisasi Buruh se-Dunia International Labour Organisation (ILO) memperkirakan
bahwa satu dari 5 pekerja di berbagai penjuru bumi atau lebih dari 600 juta
orang masih bekerja lebih dari 48 jam per minggu (Bambang Paulus WS,
2007). Studi bertajuk “Working Time Around the World: Trends
in Working Hours, Laws and Policies in a Global Comparative Perspective” itu
mengungkapkan, 22% tenaga kerja global, atau 614,2 juta pekerja, bekerja di
atas standar jam kerja. Padahal, sedemikian studi tersebut mengingatkan, jam
kerja yang lebih pendek bisa mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif, seperti
meningkatkan kesehatan hidup karyawan dan keluarganya, mengurangi kecelakaan di
tempat kerja dan mempertinggi produktivitas. Namun, pada sisi lain, studi
yang sama juga mengungkapkan sisi negatif dari jam kerja yang pendek, terutama
di negara-negara berkembang dan transisi. Yakni,bisa menyebabkan pengangguran
dan dengan demikian cenderung meningkatkan kemiskinan.
Manfaat
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Schuler dan Jackson (1999) mengatakan,
apabila perusahaan dapat melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja
dengan baik, maka perusahaan akan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut:
1. Meningkatkan produktivitas karena menurunnya
jumlah hari kerja yang hilang.
2. Meningkatnya efisiensi dan kualitas pekerja
yang lebih komitmen.
3. Menurunnya biaya-biaya kesehatan dan
asuransi.
4. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran
langsung yang lebih rendah karena menurunnya pengajuan klaim.
5. Fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih
besar sebagai akibat dari partisipasi dan ras kepemilikan.
6. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik
karena meningkatkan citra perusahaan.
7. Perusahaan dapat meningkatkan keuntungannya
secara substansial.
Menurut
Robiana Modjo (2007), manfaat penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja
di perusahaan antara lain:
1. Pengurangan Absentisme. Perusahaan yang
melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja secara serius, akan dapat
menekan angka risiko kecelakaan dan penyakit kerja dalam tempat kerja, sehingga
karyawan yang tidak masuk karena alasan cedera dan sakit akibat kerja pun juga
semakin berkurang.
2. Pengurangan Biaya Klaim Kesehatan. Karyawan
yang bekerja pada perusahaan yang benar-benar memperhatikan kesehatan dan
keselamatan kerja karyawannya kemungkinan untuk mengalami cedera atau sakit
akibat kerja adalah kecil, sehingga makin kecil pula kemungkinan klaim
pengobatan/ kesehatan dari mereka.
3. Pengurangan Turnover Pekerja.
Perusahaan yang menerapkan program K3 mengirim pesan yang jelas pada pekerja
bahwa manajemen menghargai dan memperhatikan kesejahteraan mereka, sehingga
menyebabkan para pekerja menjadi merasa lebih bahagia dan tidak ingin keluar
dari pekerjaannya.
4. Peningkatan Produktivitas.
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Sulistyarini (2006) di CV. Sahabat klaten
menunjukkan bahwa baik secara individual maupun bersama-sama program
keselamatan dan kesehatan kerja berpengaruh positif terhadap produktivitas
kerja.
Malthis dan
Jackson (2002) menyebutkan, manfaat program keselamatan dan kesehatan kerja
yang terkelola dengan baik adalah:
1. Penurunan biaya premi asuransi.
2. Menghemat biaya litigasi.
3. Lebih sedikitnya uang yang dibayarkan kepada
pekerja untuk waktu kerja mereka yang hilang.
4. Biaya yang lebih rendah untuk melatih pekerja
baru.
5. Menurunnya lembur.
6. Meningkatnya produktivitas.
Strategi dan
Pendekatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Setiap perusahaan sewajarnya memiliki
strategi memperkecil atau bahkan menghilangkan kejadian kecelakaan dan penyakit
kerja di kalangan karyawan sesuai dengan kondisi perusahaan (Sjafri
Mangkuprawira dan Aida V. Hubeis, 2007). Strategi yang perlu diterapkan
perusahaan meliputi:
1. Pihak manajemen perlu menetapkan bentuk
perlindungan bagi karyawan dalam menghadapi kejadian kecelakaan dan penyakit
kerja. Misalnya melihat keadaan finansial perusahaan, kesadaran karyawan
tentang keselamatan dan kesehatan kerja, serta tanggung jawab perusahaan dan
karyawan, maka perusahaan bisa jadi memiliki tingkat perlindungan yang minimum
bahkan maksimum.
2. Pihak manajemen dapat menentukan apakah
peraturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja bersifat formal ataukah
informal. Secara formal dimaksudkan setiap peraturan dinyatakan secara tertulis,
dilaksanakan dan dikontrol sesuai dengan aturan. Sementara secara informal
dinyatakan tidak tertulis atau konvensi, dan dilakukan melalui pelatihan dan
kesepakatan-kesepakatan.
3. Pihak manajemen perlu proaktif dan reaktif
dalam pengembangan prosedur dan rencana tentang keselamatan dan kesehatan kerja
karyawan. Proaktif berartipihak manajemen perlu memperbaiki terus menerus
prosedur dan rencana sesuai kebutuhan perusahaan dan karyawan. Sementara arti
reaktif, pihak manajemen perlu segera mengatasi masalah keselamatan dan
kesehatan kerja setelah suatu kejadian timbul.
4. Pihak manajemen dapat menggunakan tingkat
derajad keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah sebagai faktor promosi
perusahaan ke khalayak luas. Artinya perusahaan sangat peduli dengan
keselamatan dan kesehatan kerja para karyawannya.
Apakah suatu
strategi efektif atau tidak, perusahaan dapat membandingkan insiden, kegawatan
dan frekuensi penyakit-penyakit dan kecelakaan sebelum dan sesudah strategi
tersebut diberlakukan.
Sjafri Mangkuprawira dan Aida V. Hubeis
(2007) juga mengemukakan pendapatnya tentang pendekatan-pendekatan
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja yang dilakukan secara
terintegrasi dan sistematis agar program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
berjalan efektif, yaitu:
1. Pendekatan Keorganisasian
a. Merancang pekerjaan,
b. Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
program,
c. Menggunakan komisi kesehatan dan keselamatan
kerja,
d. Mengkoordinasi investigasi kecelakaan.
2. Pendekatan Teknis
a. Merancang kerja dan peraatan kerja,
b. Memeriksa peralatan kerja,
c. Menerapkan prinsip-prinsip ergonomik.
3. Pendekatan Individu
a. Memperkuat sikap dan motivasi tentang
kesehatan dan keselamatan kerja,
b. Menyediakan pelatihan kesehatan dan
keselamatan kerja,
c. Memberikan penghargaan kepada karyawan
dalam bentuk program insentif.
Landasan Hukum
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Pemerintah memberikan jaminan kepada
karyawan dengan menyusun Undang-undang Tentang Kecelakaan Tahun 1947
Nomor 33, yang dinyatakan berlaku pada tanggal 6 januari
1951,kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Tentang Pernyataan berlakunya
peraturan kecelakaan tahun 1947 (PP No. 2 Tahun 1948), yang
merupakan bukti tentang disadarinya arti penting keselamatan kerja di dalam
perusahaan (Heidjrachman Ranupandojo dan Suad Husnan, 2002).
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992, menyatakan bahwa sudah sewajarnya
apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikutbertanggung jawab atas
pelaksanaan program pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan demi terwujudnya
perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Jadi, bukan hanya
perusahaan saja yang bertanggung jawab dalam masalah ini, tetapi para karyawan
juga harus ikut berperan aktif dalam hal ini agar dapat tercapai
kesejahteraan bersama.
Penerapan
program K3 dalam perusahaan akan selalu terkait dengan landasan hukum penerapan
program K3 itu sendiri. Landasan hukum tersebut memberikan pijakan yang
jelas mengenai aturan yang menentukan bagaimana K3 harus diterapkan. Rizky
Argama (2006) menjelaskan, sumber-sumber hukum yang menjadi dasar penerapan
program K3 di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja
4. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993
tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran
Iuran, Pembayaran Santunan dan
Pelayanan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Corie Catarina (2009) menyebutkan bahwa
berdasarkan Undang-Undang no.1 tahun 1970 pasal 3 ayat 1, syarat keselamatan
kerja yang juga menjadi tujuan pemerintah membuat aturan K3 adalah :
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan
kebakaran.
c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan
diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
e. Memberi pertolongan pada kecelakaan.
f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada para
pekerja.
g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau
menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan
angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran.
h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit
akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan.
i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
j. Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang
baik.
k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan
ketertiban.
m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja,
alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya.
n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan
orang, binatang, tanaman atau barang.
o. Mengamankan dan memelihara segala jenis
bangunan.
p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan
bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang.
q. Mencegah terkena aliran listrik yang
berbahaya.
r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan
pada pekerjaan yang bahayakecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
Undang-Undang
tersebut selanjutnya diperbaharui menjadi Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap pekerja/ buruh berhak untuk memperoleh
perlindungan atas:
1. Keselamatan dan kesehatan kerja
2. Moral dan kesusilaan
3. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai agama (Lalu Husni, 2005).
Rizky Argama
(2006) mengatakan, semua produk perundang-undangan di atas pada
dasarnyamengatur hak dan kewajiban tenaga kerja terhadap keselamatan dan
kesehatan kerja untuk:
1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta
oleh pegawai pengawas dan/ ahli keselamatan kerja.
2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang
diwajibkan.
3. Memenuhi dan mentaati semua syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
4. Meminta pada pengurus agar melaksanakan semua
syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
5. Menyatakan keberatan kerja pada
pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal-hal
khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.
Hubungan Program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan
Kinerja
Karyawan
Lingkungan
kerja yang aman menjadikan tenaga kerja atau karyawan menjadi sehat dan
produktif. Menurut Hasibuan (2006:206), keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
akan menciptakan terwujudnya pemeliharaan karyawan yang baik. Bila terjadi
banyaknya kecelakaan, maka akan berpengaruh terhadap peningkatan absensi
karyawan yang berkaitan dengan penurunan produksi perusahaan yang diakibatkan
tidak optimalnya kinerja karyawan. Program Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada dasarnya menuju pencapaian keselamatan optimal yang memungkinkan
meminimalkan terjadinya kecelakaan. Menurut Muljono (Iswanto,2004:8.26) bahwa
tujuan dan sasaran Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga
kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan
mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja
yang aman , efisien, dan produktif.
Kerangka
Pemikiran Teoritis
Banyak elemen
dan faktor-faktor yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja
agar pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam perusahaan
dapat berjalan efektif. Menurut Wahyu Sulistyarini (2006) elemen-elemen dari
program K3 adalah sebagai berikut:
1. Keselamatan Kerja
a. Petunjuk dan peringatan di tempat kerja
b. Latihan dan pendidikan K3
c. Pemakaian alat pelindung
d. Pengendalian terhadap sumber-sumber bahaya
2. Kesehatan Kerja
a. Pemeriksaan kesehatan karyawan
b. Ketersediaan peralatan dan staf media
c. Pemeriksaan terhadap sanitasi
Menurut Corie
Catarina (2009), indikator dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah:
1. Keselamatan Kerja
a. Tingkat pemahaman terhadap pemakaian alat
keselamatan yang benar.
b. Tingkat pendidikan dan pelatihan terhadap
keselamatan.
c. Tingkat pengendalian administrasi dan
personil.
d. Jaminan keselamatan.
e. Tingkat kelengkapan alat keselamatan kerja.
2. Kesehatan Kerja
a. Tingkat kesehatan secara periodik.
b. Jaminan kesehatan yang diberikan perusahaan.
c. Tingkat kelengkapan fasilitas kerja yang
mendukung kesehatan.
Selain itu,
Rijuna Dewi (2006) menyebutkan, indikator dari keselamatan dan
kesehatan
kerja yaitu:
1. Keselamatan Kerja:
a. Pemahaman penggunaan peralatan keamanan
b. Kelengkapan alat pelindung diri
c. Sanksi untuk pelanggaran peraturan
keselamatan
d. Perhatian perusahaan terhadap aspek
keselamatan karyawan
e. Kejelasan petunjuk penggunaan peralatan
keselamatan
2. Kesehatan Kerja
a. Perhatian perusahaan terhadap aspek kesehatan
karyawan
b. Kelengkapan fasilitas kesehatan
c. Prosedur pelayanan kesehatan
d. Jam kerja
e. Beban kerja
f. Asuransi kesehatan