Thursday, April 27, 2017

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (BAGIAN #4)

Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri Pertambangan

Program keselamatan kerja yang baik adalah program yang didasarkan pada prinsip close the loop atau prinsip penindaklanjutan hingga tuntas. Secanggih apapun program yang ditawarkan, jikalau berhenti di tengah jalan dan tidak diikuti dengan tindak lanjut yang nyata tentu tidak memiliki arti. Baik Internationa Loss Control Institute (ILCI) maupun National Occupational Safety Association (NOSA) menyebutkan bahwa sistem keselamatan kerja yang efektif harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Identifikasi Bahaya (Identification Hazard) 
Adalah tidak sama bahaya di lingkungan kerja satu dengan yang lain. Untuk program yang umum dijumpai di industri pertambangan dalam kaitannya dengan prinsip ini antara lain :
  • Program pengenalan dan peduli bahaya (Hazard Recognition and awareness Program)
  • Program komunikasi bahaya dan inventori bahan kimia ( Hazard Communication and Chemical Inventory Program)
  • Program Pemantauan Higiena Perusahaan
  • Program Percontoh (Sampling Program)
  • STOP Program
  • Program Penilaian Resiko (Risk Assesment Program)
  • Program Inspeksi Keselamatan Kerja (Safety Inspection Program)
  • Audit Dasar Pihak Ketiga (Third Party Baseline Audit)

b. Menyusun Standart Kinerja Dan Sistem Pengukuran (Set Standart of Performance and Measurement)
Di dalam langkah ini dipandang sangat penting untuk menmbuat standart, prosedur atau kebijakan yang berkaitan dengan potensi bahaya yang telah diketahui. Dalam penyusunan prosedur ini sebaiknya melibatkan semua tingkatan managemen dan pelaksana di lapangan.
  • Program Penyusunan Kebijakan, Standart Kerja, Prosedur dengan tolok ukur standart institusi international, pemerintah dan pabrik.
  • Program Review Prosedur Kritis (Critical Prosedur Review)
  • Program Inspeksi Keselamatan Kerja (Safety Inspection Program)
  • Program Pertanggunggugatan Keselamatan Kerja (Safety Accountability Program)
  • Program Pertemuan Keselamatan Kerja (Safety Meeting Program)
c. Menyusun Standart Pertangunggugatan (Set Standard of Accountability)
Langkah ini adalah untuk menetapkan sistem pertanggunggugatan untuk masing-masing tingkatan manajemen. Program yang sering dijumpai berkaitan dengan langkah ini adalah :
  • Program Standarisasi Penugasan (Assignment Standardization Program )
  • Program Standarisasi Pertanggunggugatan (Accountability Standardisation Program)
  • Program Evaluasi Diskripsi Kerja (Job Description Evaluation Program)
  • Program KRA-KPI

d. Mengukur Kinerja Terhadap Standar yang Ditentukan (Measure Performance against Standard)
Langkah ini untuk mengetahui seberapa tinggi kinerja yang dipakai terhadap standar yang ada. Beberapa program yang telah sangat dikenal dalam langkah ini adalah :
  • Audit keselamatan kerja Internal dan Eksternal (Internal & External Safety Audit)
  • Inspeksi Keselamatan Kerja (Safety Inspection Program)
  • Program Analisa Kecelakaan (Accident Investigation Program)
  • NOSA Five Starrs Grading Audit
  • Housekeeping Evaluation
e. Mengevaluasi Hasil yang dicapai (Evaluate Outcome)
Termasuk dalam langkah ini adalah mengevaluasi adanya penyimpangan dari peraturan perundangan dan standar internasional yang berlaku. Contoh program dalam langkah ini antara lain:
  • Program statistik kecelakaan (Safety Statistic Program)
  • Program Pelaporan ke Pemerintah (Government Reporting )
  • Program Analisa Kecelakaan (accident Analysis Program)
  • Evaluasi Kesehatan Karyawan (Medical Evaluation)
  • Program Perlindungan Pendengaran dan Pernafasan
  • Audit Follow up

f. Melakukan Koreksi Terhadap Penyimpangan yang Ada (Correct Deviations and Deficiencies )
Salah satu contoh yang amat dikenal dalam langkah ini adalah :
  • Program Penghargaan Safety (Safety Recognition Program)
  • Program Koreksi Tuntas (Correction –Close The Loop Program)
  • Program Pertemuan Kepala Teknik Tambang (Technical Manager Meeting)


KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (BAGIAN #3)

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Keselamatan Kerja
        Menurut Ernawati (2009), keselamatan kerja adalah keselamatan yang  berhubungan dengan peralatan, tempat kerja dan lingkungan, serta cara-cara  melakukan pekerjaan. Keselamatan kerja menjadi aspek yang sangat penting,  mengingat resiko bahayanya dalam penerapan teknologi. Keselamatan kerja merupakan  tugas semua orang yang bekerja, setiap tenaga kerja dan juga masyarakat  pada umumnya. 
        Keselamatan kerja adalah membuat kondisi kerja yang aman dengan  dilengkapi alat-alat pengaman, penerangan yang baik, menjaga lantai dan tangga  bebas dari air, minyak, nyamuk dan memelihara fasilitas air yang baik (Tulus Agus,  1989). Menurut Malthis dan Jackson (2002), keselamatan kerja menunjuk pada  perlindungan kesejahteraan fisik dengan dengan tujuan mencegah terjadinya  kecelakaan atau cedera terkait dengan pekerjaan. Muhammad Sabir (2009) mendefinisikan, keselamatan kerja adalah  keselamatan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses  pengelolaannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan  pekerjaan. Keselamatan kerja menyangkut segenap proses produksi dan distribusi,  baik barang maupun jasa. Pendapat lain menyebutkan  bahwa keselamatan kerja
berarti proses merencanakan dan mengendalikan situasi yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja melalui persiapan prosedur operasi standar yang  menjadi acuan dalam bekerja (Rika Ampuh Hadiguna, 2009). Roy Erickson (2009) membagi unsur-unsur penunjang keselamatan kerja sebagai berikut:
1.      Adanya unsur-unsur keamanan dan kesehatan kerja yang dijelaskan sebelumnya.
2.      Adanya kesadaran dalam menjaga keamanan dan kesehatan kerja.
3.      Melaksanakan prosedur kerja dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan kerja.
4.      Teliti dalam bekerja.   

Kecelakaan Kerja
        Menurut Rika Ampuh Hadiguna (2009), kecelakaan kerja merupakan kecelakaan seseorang atau kelompok dalam rangka melaksanakan kerja di lingkungan perusahaan, yang terjadi secara tiba-tiba, tidak diduga sebelumnya, tidak diharapkan terjadi, menimbulkan kerugian ringan sampai yang paling berat, dan bias menghentikan kegiatan pabrik secara total. Penyebab kecelakaan kerja dapat  dikategorikan menjadi dua:
1.      Kecelakaan yang disebabkan oleh tindakan manusia yang tidak melakukan tindakan penyelamatan. Contohnya, pakaian kerja, penggunaan peralatan pelindung diri, falsafah perusahaan, dan lain-lain.
2.      Kecelakaan yang disebabkan oleh keadaan lingkungan  kerja yang tidak aman. Contohnya, penerangan, sirkulasi udara, temperatur, kebisingan, getaran, penggunaan indikator warna, tanda peringatan, sistem upah, jadwal kerja, dan lain-lain  (Rika Ampuh Hadiguna, 2009).
Husni (2005) menyatakan bahwa keselamatan kerja bertalian dengan kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang terjadi di  tempat kerja atau dikenal dengan istilah kecelakaan industri. Kecelakaan industri ini secara umum dapat diartikan sebagai suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas. Ada 4 (faktor) penyebabnya, yaitu:
a.       Faktor manusianya.
b.       Faktor material/ bahan/ peralatan.
c.       Faktor bahaya/ sumber bahaya
d.       Faktor yang dihadapi (pemeliharaan/ perawatan mesin-mesin)
Disamping ada sebabnya, maka suatu kejadian juga  akan membawa akibat. Menurut Lalu Husni (2005), akibat dari kecelakaan industri ini dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: 
1.      Kerugian yang bersifat ekonomis, yaitu:
a.       Kerusakan/ kehancuran mesin, peralatan, bahan dan bangunan
b.      Biaya pengobatan dan perawatan korban
c.       Tunjangan kecelakaan
d.      Hilangnya waktu kerja
e.       Menurunnya jumlah maupun mutu produksi
2.      Kerugian yang bersifat non ekonomis
            Pada umumnya berupa penderitaan manusia yaitu tenaga kerja yang  bersangkutan, baik itu merupakan kematian, luka/ cidera berat, maupun luka ringan.

Kesehatan Kerja
        Kesehatan kerja adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial (Lalu Husni, 2005). Selain itu, kesehatan kerja menunjuk pada kondisi fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum dengan tujuan memelihara kesejahteraan individu secara menyeluruh (Malthis dan Jackson, 2002). Sedangkan menurut Prabu Mangkunegara (2001) pengertian kesehatan kerjaadalah kondisi bebas dari gangguan fisik, mental, emosi atau rasa sakit yang disebakan lingkungan kerja.
        Kesehatan kerja di perusahaan adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan beserta prakteknya dengan mengadakan penilaian kepada faktor-faktor penyebab penyakit dalam lingkungan kerja dan perusahaan melalui pengukuran yang hasilnya dipergunakan untuk dasar tindakan korektif dan bila perlu pencegahan kepada lingkungan tersebut, agar pekerja dan masyarakat sekitar perusahaan terhindar dari bahaya akibat kerja, serta dimungkinkan untuk mengecap derajat kesehatan setinggi-tinginya (Muhammad Sabir, 2009). Roy Erickson (2009) mendefinisikan kesehatan kerja sebagai suatu kondisi kesehatan yang bertujuan agar masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik jasmani, rohani maupun sosial, dengan usaha pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit atau gangguan kesehatan yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja maupun penyakit umum.
        Kesehatan dalam ruang lingkup keselamatan dan kesehatan kerja tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari penyakit. Menurut Undang-undang Pokok Kesehatan RI No. 9 Tahun 1960, Bab I Pasal 2, keadaan sehat diartikan sebagai kesempurnaan yang meliputi keadaan jasmani, rohani  dan kemasyarakatan, dan bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan-kelemahan lainnya.
Menurut Veithzal Rivai (2003) pemantauan kesehatan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.      Mengurangi timbulnya penyakit.
         Pada umumnya perusahaan sulit mengembangkan strategi untuk mengurangi timbulnya penyakit-penyakit, karena hubungan sebab-akibat antara lingkungan fisik dengan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan sering kabur. Padahal, penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan jauh lebih merugikan, baik bagi perusahaan maupun pekerja.
2.     Penyimpanan catatan tentang lingkungan kerja.
        Mewajibkan perusahaan untuk setidak-tidaknya melakukan pemeriksaan terhadap kadar bahan kimia yang terdapat dalam lingkungan pekerjaan dan menyimpan catatan mengenai informasi yang terinci tersebut. Catatan ini juga harus mencantumkan informasi tentang penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan dan jarak yang aman dan pengaruh berbahaya bahan-bahan tersebut.
3.     Memantau kontak langsung.
        Pendekatan yang pertama dalam mengendalikan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan adalah dengan membebaskan tempat kerja dari bahan-bahan kimia atau racun. Satu pendekatan alternatifnya adalah dengan memantau dan membatasi kontak langsung terhadap zat-zat berbahaya.
4.     Penyaringan genetik.
        Penyaringan genetik adalah pendekatan untuk mengendalikan penyakit-penyakit yang paling ekstrem, sehingga sangat kontroversial. Dengan menggunakan uji genetik untuk menyaring individu-individu yang rentan terhadap penyakit-penyakit tertentu, perusahaan dapat mengurangi kemungkinan untuk menghadapi klaim kompensasi dan masalah-masalah yang terkait dengan hal itu. 
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, kesehatan kerja bertujuan untuk:
1.      Memberi bantuan kepada tenaga kerja.
2.      Melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan dan lingkungan kerja.
3.      Meningkatkan kesehatan.
4.      Memberi pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi (Corie Catarina, 2009).

Penyakit Kerja
        Penyakit kerja adalah kondisi abnormal atau penyakit yang disebabkan oleh kerentanan terhadap faktor lingkungan yang terkait  dengan pekerjaan. Hal ini meliputi penyakit akut dan kronis yang disebakan oleh pernafasan, penyerapan, pencernaan, atau kontak langsung dengan bahan kimia beracun atau pengantar yang berbahaya (Dessler, 2007). Masalah kesehatan karyawan sangat beragam dan kadang tidak tampak. Penyakit ini dapat berkisar mulai dari penyakit ringan seperti flu, hingga penyakit yang serius yang berkaitan dengan pekerjaannya (Malthis dan Jackson, 2002). 
Schuler dan Jackson (1999) menjelaskan bahwa dalam  jangka panjang, bahaya-bahaya di lingkungan tempat kerja dikaitkan  dengan kanker kelenjar tiroid, hati, paru-paru, otak dan ginjal; penyakit paru-paru putih, cokelat, dan hitam; leukimia; bronkitis; emphysema dan lymphoma; anemia plastik dan kerusakan sistem saraf pusat; dan kelainan-kelainan reproduksi (misal kemandulan, kerusakan genetic, keguguran dan cacat pada waktu lahir). 
 Menurut Bennet Silalahi (1995) perusahaan mengenal dua kategori penyakit yang diderita tenaga kerja, yaitu:
1.      Penyakit umum
        Merupakan penyakit yang mungkin dapat diderita oleh semua orang, dan hal ini adalah tanggung jawab semua anggota masyarakat, karena itu harus melakukan pemeriksaan sebelum masuk kerja.
2.      Penyakit akibat kerja
        Dapat timbul setelah karyawan yang tadinya terbukti sehat memulai pekerjaannya. Faktor penyebab bisa terjadi dari golongan fisik, golongan kimia, golongan biologis, golongan fisiologis dan golongan psikologis.

Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 
        Menurut Rizky Argama (2006), program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan dan penyakit kerja akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit kerja akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian. Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu sistem yang dirancang untuk menjamin keselamatan yang baik pada semua personel di tempat kerja agar tidak menderita luka maupun menyebabkan  penyakit di tempat kerja dengan mematuhi/ taat pada hukum dan aturan keselamatan dan kesehatan kerja, yang tercermin pada perubahan sikap menuju keselamatan di tempat kerja (Rijuna Dewi, 2006).
Dessler (1992) mengatakan bahwa program keselamatan dan kesehatan kerja diselenggarakan karena tiga alasan pokok, yaitu:
1.      Moral. Para pengusaha menyelenggarakan upaya pencegahan  kecelakaan dan penyakit kerja pertama sekali semata-mata atas dasar kemanusiaan. Mereka melakukan hal itu untuk memperingan penderitaan karyawan dan keluarganya yang mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
2.      Hukum. Dewasa ini, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur ikhwal keselamatan dan kesehatan kerja, dan hukuman terhadap pihak-pihak yang melanggar ditetapkan cukup berat. Berdasarkan peraturan perundang- undangan itu, perusahaan dapat dikenakan denda, dan para supervisor dapat ditahan apabila ternyata bertanggungjawab atas kecelakaan dan penyakit fatal.
3.      Ekonomi. Adanya alasan ekonomi karena biaya yang dipikul perusahaan dapat jadi cukup tinggi sekalipun kecelakaan dan penyakit yang terjadi kecil saja.
Asuransi kompensasi karyawan ditujukan untuk member ganti rugi kepada pegawai yang mengalami kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Menurut Sjafri Mangkuprawira dan Aida V. Hubeis (2007), secara umum program keselamatan dan kesehatan kerja dapat dikelompokkan:
1.      Telaahan Personal
Telaahan personal dimaksudkan untuk menentukan karakteristik karyawan tertentu yang diperkirakan rawan dan berpotensi mengalami kecelakaan dan penyakit kerja:
a.       Faktor usia, apakah karyawan yang berusia lebih tua cenderung lebih aman dibanding yang lebih muda ataukah sebaliknya.
b.      Ciri-ciri fisik karyawan, seperti potensi pendengaran dan penglihatan yang cenderung berhubungan dengan derajad kecelakaan karyawan yang kritis.
c.       Tingkat pengetahuan dan kesadaran karyawan tentang  pentingnya pencegahan dan penyelamatan dari kecelakaan dan penyakit kerja.
 Dengan mengetahui ciri-ciri personal itu maka perusahaan dapat memprediksi siapa saja karyawan yang potensial untuk mengalami  kecelakaan dan penyakit kerja, lalu sejak dini perusahaan dapat menyiapkan upaya-upaya pencegahaanya.
2.      Sistem Insentif
Insentif yang diberikan kepada karyawan dapat berupa uang dan bahkan karir. Dalam bentuk uang dapat dilakukan melalui kompetisi antar-unit tentang keselamatan dan kesehatan kerja dalam kurun waktu tertentu, misalnya selama enam bulan sekali. Siapa yang mampu menekan kecelakaan dan penyakit kerja sampai titik terendah akan diberikan penghargaan. Bentuk lain adalah berupa peluang karir bagi para karyawan yang mampu menekan kecelakaan dan penyakit kerja bagi dirinya atau bagi kelompok karyawan di unitnya.
3.      Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja bagi karyawan biasa dilakukan oleh perusahaan. Fokus pelatihan pada umumnya pada segi-segi bahaya atau risiko dari pekerjaan, aturan dan peraturan keselamatan dan kesehatan kerja, dan perilaku kerja yang aman dan berbahaya. 
4.      Peraturan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Perusahaan perlu memiliki semacam panduan yang berisi peraturan dan aturan yang menyangkut apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh karyawan di tempat kerja. Isinya harus spesifik yang memberi petunjuk bagaimana suatu pekerjaan dilakukan dengan hati-hati untuk mencapai keselamatan dan kesehatan kerja maksimum. Sekaligus dijelaskan beberapa kelalaian kerja yang dapat menimbulkan bahaya individu dan kelompok karyawan serta tempat kerja.
Ernawati (2009) menyebutkan bahwa penerapan program K3 harus sesuai dengan prosedur yang benar. Sebagai contoh kegiatan penerapan pemadaman kebakaran dan prosedur kerja dilakukan berdasarkan  SOP (Standard Operation Procedures), peraturan K3L (Keselamatan, Kesehatan Kerja dan  Lingkungan), dan prosedur/ kebijakan perusahaan, yang meliputi:
a.       Prosedur perlindungan mesin diikuti pada saat tanda bahaya muncul.
b.      Prosedur peringatan/ evakuasi diikuti di tempat kerja.
c.       Prosedur gawat darurat diikuti secara professional dengan tepat untuk melindungi mesin pada saat keadaan tanda bahaya muncul.
 Muhammad Sabir (2009) mengatakan, prosedur penerapan program K3 perlu dikuasai oeh semua pihak karena ada beberapa faktor yang peru diperhatikan, antara lain:
1.      Bahaya pada area kerja dikenali dan dilakukan tindakan pengontrolan yang tepat.
2.      Kebijakan yang sah pada tempat kerja dan prosedur pengontrolan risiko diikuti.
3.      Tanda bahaya dan peringatan dipatuhi.
4.      Pakaian pengamanan digunakan sesuai dengan SI (Standar Internasional).
5.      Teknik dan pengangkatan/ pemindahan secara manual dilakukan dengan tepat.
6.      Perlengkapan dipilih sebelum melakukan pembersihan  dan perawatan secara rutin.
7.      Metode yang aman dan benar digunakan untuk pembersihan dan pemeliharaan perlengkapan.
8.      Peralatan dan area kerja dibersihkan/ dipelihara sesuai dengan keamanan, jadwal pemeliharaan berkala, tempat penerapan dan spesifikasi pabrik.
Menurut Rizky Argama (2006) terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan program K3, yaitu:
1.      Seberapa serius keselamatan dan kesehatan kerja hendak diimplementasikan dalam perusahaan.
2.      Pembentukan konsep budaya malu dari masing-masing pekerja bila tidak melaksanakan K3 serta keterlibatan berupa dukungan  serikat pekerja dalam pelaksanaan program K3 di tempat kerja.
3.      Kualitas program pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai sarana sosialisasi.

Tujuan Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
        Program keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan untuk memberikan iklim yang kondusif bagi para pekerja untuk berprestasi,  setiap kejadian baik kecelakaan dan penyakit kerja yang ringan maupun fatal harus dipertanggungjawabkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Rika Ampuh Hadiguna, 2009). Sedangkan menurut Rizky Argama (2006), tujuan dari dibuatnya program  keselamatan dan kesehatan kerja adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja. Menurut Ernawati (2009), tujuan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah:
1.      Melindungi para pekerja dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi akibat kecerobohan pekerja.
2.      Memelihara kesehatan para pekerja untuk memperoleh  hasil pekerjaan yang optimal.
3.      Mengurangi angka sakit atau angka kematian diantara pekerja.
4.      Mencegah timbulnya penyakit menular dan penyakit-penyakit lain yang diakibatkan oleh sesama pekerja.
5.      Membina dan meningkatkan kesehatan fisik maupun mental.
6.      Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja.
7.      Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.
Roy Erickson (2009) menjelaskan, secara singkat tujuan dari diselenggarakannya program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah sebagai berikut:
1.      Memelihara lingkungan kerja yang sehat.
2.      Mencegah dan mengobati kecelakaan yang diakibatkan oleh pekerjaan sewaktu bekerja.  Mencegah dan mengobati keracunan yang ditimbulkan dari kerja.
3.      Memelihara moral, mencegah dan mengobati keracunan yang timbul kerja.
4.      Menyesuaikan kemampuan dengan pekerjaan.
5.      Merehabilitasi pekerja yang cedera atau sakit akibat pekerjaan.
Malthis dan Jackson (2002) menyebutkan, keselamatan kerja merujuk pada perlindungan terhadap kesejahteraan seseorang, dan  tujuan utama keselamatan kerja di perusahaan adalah mencegah kecelakaan atau cedera yang terkait dengan pekerjaan. Rizky Argama (2006) menjelaskan bahwa keselamatan kerja bertujuan untuk menyelamatkan kepentingan ekonomis perusahaan yang disebabkan kecelakaan, untuk selanjutnya menyelamatkan para pekerja serta mencegah terjadinya kecelakaan di tempat kerja, dengan cara menciptakan keamanan di tempat kerja. Menurut Suma’mur (1981), tujuan keselamatan kerja adalah:
1.      Para pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja.
2.      Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja dapat digunakan sebaik-baiknya.
3.      Agar semua hasil produksi terpelihara keamanannya.
4.      Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan gizi pegawai.
5.      Agar dapat meningkatkan kegairahan, keserasian dan partisipasi kerja.
6.      Terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
Agar pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.

Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
        Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah pelatihan yang  disusun untuk memberi bekal kepada personil yang ditunjuk perusahaan untuk dapat menerapkan K3 di tempat kerja (www.sucofindo.co.id).  Pelatihan K3 bertujuan agar karyawan dapat memahami dan berperilaku pentingnya  keselamatan dan kesehatan kerja, mengidentifkasi potensi bahaya di tempat kerja, melakukan pencegahan kecelakaan kerja, mengelola bahan-bahan beracun berbahaya dan penanggulangannya, menggunakan alat pelindung diri, melakukan pencegahan dan pemadaman kebakaran serta menyusun program pengendalian keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan (Putut Hargiyarto, 2010). 

Jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
        Jaminan  keselamatan dan kesehatan kerja para tenaga kerja harus  diprioritaskan atau diutamakan dan diperhitungkan agar tenaga kerja merasa ada jaminan atas pekerjaan yang mereka lakukan, baik yang beresiko maupun tidak. Menurut Shafiqah Adia (2010), jaminan keselamatan dan kesehatan dapat membuat para tenaga kerja merasa nyaman dan aman dalam melakukan suatu pekerjaan, sehingga dapat memperkecil atau bahkan mewujudkan kondisi nihil kecelakaan dan penyakit kerja.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh As’ari Batubara (2007) di PT. PERTAMINA Unit Pemasaran-1 Medan, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang positifdan signifikan antara jaminan keselamatan dan kesehatan kerja terhadap kinerja karyawan. Kinerja karyawan yang meningkat akan diikuti pula dengan meningkatnya produktivitas karyawan

Alat Pelindung Diri
        Dasar  hukum dari alat pelindung diri ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 Bab IX Pasal 13 tentang Kewajiban Bila Memasuki Tempat kerja yang berbunyi: “Barangsiapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.” 
Menurut Muhammad Sabir (2009), alat pelindung diri adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai kebutuhan  untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya. Pada umumnya alat-alat tersebut terdiri dari:
1.      Safety Helmet, berfungsi sebagai pelindung kepala dari benda yang bisa mengenai kepala secara langsung.
2.      Tali Keselamatan (Safety Belt), berfungsi sebagai alat pengaman ketika menggunakan alat transportasi ataupun peralatan lain yang serupa (mobil, pesawat, alat berat, dan lain-lain)
3.      Sepatu Karet (Sepatu Boot), berfungsi sebagai alat  pengaman saat bekerja di tempat yang becek ataupun berlumpur.
4.      Sepatu Pelindung (Safety Shoes), berfungsi untuk mencegah kecelakaan fatal yang menimpa kaki karena tertimpa benda tajam atau berat, benda panas, cairan kimia, dan sebagainya.
5.      Sarung Tangan, berfungsi sebagai alat pelindung tangan pada saat bekerja di tempat atau situasi yang dapat mengakibatkan cedera tangan.
6.      Tali Pengaman (Safety Harness), berfungsi sebagai pengaman saat bekerja di ketinggian.
7.      Penutup Telinga (Ear Plug/ Ear Muff), berfungsi sebagai pelindung telinga pada saat bekerja di tempat yang bising.
8.      Kacamata Pengaman (Safety Glasses), berfungsi sebagai pelindung mata ketika bekerja (misal mengelas).
9.      Masker (Respirator), berfungsi sebagai penyaring udara yang dihirup saat bekerja di tempat dengan kualitas udara yang buruk (misal berdebu, beracun, berasap, dan sebagainya).
10.  Pelindung Wajah (Face Shield), berfungsi sebagai pelindung wajah dari percikan benda asing saat bekerja (misal pekerjaan menggerinda).
11.  Jas Hujan (Rain Coat), berfungsi melindungi diri dari percikan air saat bekerja (misal bekerja pada saat hujan atau sedang mencuci alat). 


Beban Kerja
        Beban kerja adalah sekumpulan atau sejumlah kegiatan yang harus diselesaikan oleh suatu unit organisasi atau pemegang jabatan dalam jangka waktu tertentu (Adil Kurnia, 2010). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ginanjar Rohmanu Mahwidhi (2007) terhadap perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr.Soeroto Ngawi, menunjukkan bahwa beban kerja berpengaruh positif terhadap stres kerja. Semakin berat beban kerja yang ditanggung, maka akan semakin besar risiko perawat yang bekerja di tempat tersebut terkena stres. Sementara itu, hasil penelitian Heni Febriana dan  Rossi Sanusi (2006) terhadap pegawai Akademi Kebidanan di Pemerintah Kabupaten Kudus menunjukkan bahwa beban kerja berhubungan negatif dengan kinerja karyawan.Semakin berat kelebihan beban kerja yang mereka terima, maka kinerjanya akan semakin menurun.   

Jam Kerja
        Untuk karyawan yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu minggu. Sedangkan untuk karyawan  dengan 5 hari kerja dalam satu minggu, kewajiban bekerja mereka adalah 8 jam dalam satu hari dan 40 jam dalam satu minggu (www.gajimu.com). Hampir satu abad berlalu sejak standar internasional jam kerja diberlakukan, sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi Buruh se-Dunia International Labour Organisation (ILO) memperkirakan bahwa satu dari 5 pekerja di berbagai penjuru bumi atau lebih dari 600 juta orang masih bekerja lebih dari 48 jam per minggu (Bambang Paulus WS, 2007).  Studi bertajuk “Working Time Around the World: Trends in Working Hours, Laws and Policies in a Global Comparative Perspective” itu mengungkapkan, 22% tenaga kerja global, atau 614,2 juta pekerja, bekerja di atas standar jam kerja. Padahal, sedemikian studi tersebut mengingatkan, jam kerja yang lebih pendek bisa mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif, seperti meningkatkan kesehatan hidup karyawan dan keluarganya, mengurangi kecelakaan di tempat kerja dan mempertinggi produktivitas. Namun, pada sisi lain,  studi yang sama juga mengungkapkan sisi negatif dari jam kerja yang pendek, terutama di negara-negara berkembang dan transisi. Yakni,bisa menyebabkan pengangguran dan dengan demikian cenderung meningkatkan kemiskinan.

Manfaat Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
        Schuler dan Jackson (1999) mengatakan, apabila perusahaan dapat melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja dengan baik, maka perusahaan akan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut:
1.      Meningkatkan produktivitas karena menurunnya jumlah hari kerja yang hilang.
2.      Meningkatnya efisiensi dan kualitas pekerja yang lebih komitmen.
3.      Menurunnya biaya-biaya kesehatan dan asuransi.
4.      Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung yang lebih rendah karena menurunnya pengajuan klaim.
5.      Fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari partisipasi dan ras kepemilikan.
6.      Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena meningkatkan citra perusahaan.
7.      Perusahaan dapat meningkatkan keuntungannya secara substansial.
Menurut Robiana Modjo (2007), manfaat penerapan program keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan antara lain:
1.      Pengurangan Absentisme. Perusahaan yang melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja secara serius, akan dapat menekan angka risiko kecelakaan dan penyakit kerja dalam tempat kerja, sehingga karyawan yang tidak masuk karena alasan cedera dan sakit akibat kerja pun juga semakin berkurang.
2.      Pengurangan Biaya Klaim Kesehatan. Karyawan yang bekerja pada perusahaan yang benar-benar memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja karyawannya kemungkinan untuk mengalami cedera atau sakit akibat kerja adalah kecil, sehingga makin kecil pula kemungkinan klaim pengobatan/ kesehatan dari mereka.
3.      Pengurangan  Turnover  Pekerja. Perusahaan yang menerapkan program K3 mengirim pesan yang jelas pada pekerja bahwa manajemen menghargai dan memperhatikan kesejahteraan mereka, sehingga menyebabkan para pekerja menjadi merasa lebih bahagia dan tidak ingin keluar dari pekerjaannya.
4.      Peningkatan Produktivitas.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Sulistyarini (2006) di CV. Sahabat klaten menunjukkan bahwa baik secara individual maupun bersama-sama program keselamatan  dan kesehatan kerja berpengaruh positif terhadap produktivitas kerja.
Malthis dan Jackson (2002) menyebutkan, manfaat program keselamatan dan kesehatan kerja yang terkelola dengan baik adalah:
1.      Penurunan biaya premi asuransi.
2.      Menghemat biaya litigasi.
3.      Lebih sedikitnya uang yang dibayarkan kepada pekerja untuk waktu kerja mereka yang hilang.
4.      Biaya yang lebih rendah untuk melatih pekerja baru.
5.      Menurunnya lembur.
6.      Meningkatnya produktivitas.

Strategi dan Pendekatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
        Setiap perusahaan sewajarnya memiliki strategi memperkecil atau bahkan menghilangkan kejadian kecelakaan dan penyakit kerja di kalangan karyawan sesuai dengan kondisi perusahaan (Sjafri Mangkuprawira dan Aida V. Hubeis, 2007). Strategi yang perlu diterapkan perusahaan meliputi:
1.      Pihak manajemen perlu menetapkan bentuk perlindungan bagi karyawan dalam menghadapi kejadian kecelakaan dan penyakit kerja. Misalnya melihat keadaan finansial perusahaan, kesadaran karyawan tentang keselamatan dan kesehatan kerja, serta tanggung jawab perusahaan dan karyawan, maka perusahaan bisa jadi memiliki tingkat perlindungan yang minimum bahkan maksimum.
2.      Pihak manajemen dapat menentukan apakah peraturan tentang keselamatan dan kesehatan kerja bersifat formal ataukah informal. Secara formal dimaksudkan setiap peraturan dinyatakan secara tertulis, dilaksanakan dan dikontrol sesuai dengan aturan. Sementara secara informal dinyatakan tidak tertulis atau konvensi, dan dilakukan melalui pelatihan dan kesepakatan-kesepakatan.
3.      Pihak manajemen perlu proaktif dan reaktif dalam pengembangan prosedur dan rencana tentang keselamatan dan kesehatan kerja karyawan. Proaktif berartipihak manajemen perlu memperbaiki terus menerus prosedur dan rencana sesuai kebutuhan perusahaan dan karyawan. Sementara arti reaktif, pihak manajemen perlu segera mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja setelah suatu kejadian timbul.
4.      Pihak manajemen dapat menggunakan tingkat derajad keselamatan dan kesehatan kerja yang rendah sebagai faktor promosi perusahaan ke khalayak luas. Artinya perusahaan sangat peduli dengan keselamatan dan kesehatan kerja para karyawannya.
Apakah suatu strategi efektif atau tidak, perusahaan dapat membandingkan insiden, kegawatan dan frekuensi penyakit-penyakit dan kecelakaan sebelum dan sesudah strategi tersebut diberlakukan.

        Sjafri Mangkuprawira dan Aida V. Hubeis (2007) juga mengemukakan pendapatnya tentang pendekatan-pendekatan terhadap  keselamatan dan kesehatan kerja yang dilakukan secara terintegrasi dan sistematis agar program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) berjalan efektif, yaitu:
1.      Pendekatan Keorganisasian
a.       Merancang pekerjaan,
b.      Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan program,
c.       Menggunakan komisi kesehatan dan keselamatan kerja,
d.      Mengkoordinasi investigasi kecelakaan.
2.      Pendekatan Teknis
a.       Merancang kerja dan peraatan kerja,
b.      Memeriksa peralatan kerja,
c.       Menerapkan prinsip-prinsip ergonomik.
3.      Pendekatan Individu
a.       Memperkuat sikap dan motivasi tentang kesehatan dan keselamatan kerja,
b.      Menyediakan pelatihan kesehatan dan keselamatan kerja,
c.        Memberikan penghargaan kepada karyawan dalam bentuk program insentif.

Landasan Hukum Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
        Pemerintah memberikan jaminan kepada karyawan dengan menyusun Undang-undang Tentang Kecelakaan Tahun  1947 Nomor  33, yang dinyatakan berlaku pada tanggal 6 januari 1951,kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Tentang Pernyataan berlakunya peraturan kecelakaan  tahun 1947 (PP No. 2 Tahun 1948), yang merupakan bukti tentang disadarinya arti penting keselamatan kerja di dalam perusahaan (Heidjrachman Ranupandojo dan Suad Husnan, 2002).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992, menyatakan bahwa sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikutbertanggung jawab atas pelaksanaan program pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Jadi, bukan hanya perusahaan saja yang bertanggung jawab dalam masalah ini, tetapi para karyawan juga harus ikut berperan aktif  dalam hal ini agar dapat tercapai kesejahteraan bersama.
Penerapan program K3 dalam perusahaan akan selalu terkait dengan landasan hukum penerapan program K3 itu sendiri. Landasan hukum tersebut memberikan pijakan  yang jelas mengenai aturan yang menentukan bagaimana K3 harus diterapkan. Rizky Argama (2006) menjelaskan, sumber-sumber hukum yang menjadi dasar penerapan program K3 di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
3.       Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program  Jaminan Sosial Tenaga Kerja
4.      Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja
5.      Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-05/MEN/1993 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan
Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.  Corie Catarina (2009) menyebutkan bahwa berdasarkan Undang-Undang no.1 tahun 1970 pasal 3 ayat 1, syarat keselamatan kerja yang juga menjadi tujuan pemerintah membuat aturan K3 adalah :
a.       Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
b.      Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran.
c.       Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan.
d.      Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya.
e.       Memberi pertolongan pada kecelakaan.
f.       Memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja.
g.      Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran.
h.      Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan.
i.        Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai.
j.        Menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik.
k.      Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup.
l.        Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban.
m.    Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya.
n.      Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang.
o.      Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan.
p.      Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang.
q.      Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya.
r.        Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahayakecelakaannya menjadi bertambah tinggi. 
            Undang-Undang tersebut selanjutnya diperbaharui menjadi Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap pekerja/ buruh berhak untuk memperoleh perlindungan atas:
1.      Keselamatan dan kesehatan kerja
2.      Moral dan kesusilaan
3.      Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Lalu Husni, 2005).
Rizky Argama (2006) mengatakan, semua produk perundang-undangan di atas pada dasarnyamengatur hak dan kewajiban tenaga kerja terhadap keselamatan dan kesehatan kerja untuk:
1.      Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh  pegawai pengawas dan/ ahli keselamatan kerja.
2.      Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.
3.      Memenuhi dan mentaati semua syarat keselamatan dan  kesehatan kerja yang diwajibkan.
4.      Meminta pada pengurus agar melaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan.
5.       Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan dimana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya, kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

Hubungan  Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan
Kinerja Karyawan
Lingkungan kerja yang aman menjadikan tenaga kerja atau karyawan menjadi sehat dan produktif. Menurut Hasibuan (2006:206), keselamatan dan kesehatan kerja (K3) akan menciptakan terwujudnya pemeliharaan karyawan yang baik. Bila terjadi banyaknya kecelakaan, maka akan berpengaruh terhadap peningkatan absensi karyawan yang berkaitan dengan penurunan produksi perusahaan yang diakibatkan tidak optimalnya kinerja karyawan. Program Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada dasarnya menuju pencapaian keselamatan optimal yang memungkinkan meminimalkan terjadinya kecelakaan. Menurut Muljono (Iswanto,2004:8.26) bahwa tujuan dan sasaran Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman , efisien, dan produktif.

Kerangka Pemikiran Teoritis
Banyak elemen dan faktor-faktor yang mempengaruhi  keselamatan dan kesehatan kerja agar pelaksanaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam perusahaan dapat berjalan efektif. Menurut Wahyu Sulistyarini (2006) elemen-elemen dari program K3 adalah sebagai berikut:
1.      Keselamatan Kerja
a.       Petunjuk dan peringatan di tempat kerja
b.      Latihan dan pendidikan K3
c.       Pemakaian alat pelindung
d.      Pengendalian terhadap sumber-sumber bahaya
2.      Kesehatan Kerja
a.       Pemeriksaan kesehatan karyawan
b.      Ketersediaan peralatan dan staf media
c.       Pemeriksaan terhadap sanitasi
Menurut Corie Catarina (2009), indikator dari keselamatan dan kesehatan kerja adalah:
1.      Keselamatan Kerja
a.       Tingkat pemahaman terhadap pemakaian alat keselamatan yang benar.
b.      Tingkat pendidikan dan pelatihan terhadap keselamatan.
c.       Tingkat pengendalian administrasi dan personil.
d.      Jaminan keselamatan.
e.       Tingkat kelengkapan alat keselamatan kerja.
2.      Kesehatan Kerja
a.       Tingkat kesehatan secara periodik.
b.      Jaminan kesehatan yang diberikan perusahaan.
c.       Tingkat kelengkapan fasilitas kerja yang mendukung kesehatan. 
Selain itu, Rijuna Dewi (2006) menyebutkan, indikator dari keselamatan dan
kesehatan kerja yaitu:
1.      Keselamatan Kerja:
a.       Pemahaman penggunaan peralatan keamanan
b.      Kelengkapan alat pelindung diri
c.       Sanksi untuk pelanggaran peraturan keselamatan
d.      Perhatian perusahaan terhadap aspek keselamatan karyawan
e.       Kejelasan petunjuk penggunaan peralatan keselamatan
2.      Kesehatan Kerja
a.       Perhatian perusahaan terhadap aspek kesehatan karyawan
b.      Kelengkapan fasilitas kesehatan
c.       Prosedur pelayanan kesehatan
d.      Jam kerja
e.       Beban kerja
f.       Asuransi kesehatan