KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Kesehatan dan keselamatan kerja
(K3) merupakan alat maupun instrumen
yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar
dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi
yang wajib di penuhi oleh perusahaan.
K3 bertujuan
mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero
accident). Penerapan konsep ini tidak boleh di anggap sebagai upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya
(cost) perusahaan, melainkan harus di anggap sebagai bentuk investasi jangka
panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3
dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan,
kesehatan kerja, dan kerja nyata.
Norma
keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya
kecelakaan kerja yang tidak di duga yang di sebabkan oleh kelalaian kerja serta
lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini di harapkan mampu menihilkan
kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap
pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja.
Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar
tempat kerja.Norma kesehatan kerja di harapkan menjadi instrumen yang mampu
menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat
melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya
kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang
dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan,
kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar
ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan
dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah
pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan
jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3
sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama
Inggris, Jerman dan Perancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era
ini di tandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin
produksi menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai
operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah
berlipat ganda di bandingkan dengan yang di kerjakan pekerja sebelumnya
Revolusi Industri. Namun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran
serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat
fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang
besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga di tandai oleh semakin banyak
ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan
kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan
lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3
belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Pada era ini kecelakaan kerja
hanya di anggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan
tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini di perkuat dengan konsep common law
defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian),
fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi
resiko) (Tono, Muhammad: 2002).
Kemudian konsep ini berkembang
menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha,
buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.Dalam
konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan
kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah
Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang di tandai dengan penerbitan
Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah
kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan
bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang di atur secara terpisah berdasarkan
masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor
perhubungan yang mengatur lalu lintas perkeretaapian seperti tertuang dalam
Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen
Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian
dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan
Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi
Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan
Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi
Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi
bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena
Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan
keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai
dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama
pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan
pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut
mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk
pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang
Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara
eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja
atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi
sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam
konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13
Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di atas,
regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain
seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik),
perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional
sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia
(HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya
sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa.
Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika
negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup.
Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan
mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada
urutan pertama sebagai syarat investasi.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Perkantoran
Di era golbalisasi menuntut
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap tempat kerja
termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengem-bangkan dan
meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko
kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan
produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan
sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak terkecuali di Rumah
Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya di tempat
kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang
paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana
kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris
mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan tersebut
berupa nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada
5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya
hubungan kausal antara pemajanan gas anestesi dengan gejala neoropsikologi
antara lain berupa mual, kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi
mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan bahwa 312 responden
ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka
umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan
16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan
bahwa upaya kesehatan kerja wajib diseleng-garakan pada setiap tempat kerja,
khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi
pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan
masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal,
sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN
PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada beberapa hal penting yang
harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan pelaksanaan K3 perkantoran, yang
pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua) hal yaitu indoor dan outdoor, yang
kalau diurai seperti dibawah ini :
1.
Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan
operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
2.
Jaringan elektrik dan komunikasi.
3.
Kualitas udara.
4.
Kualitas pencahayaan.
5.
Kebisingan.
6.
Display unit (tata ruang dan alat).
7.
Hygiene dan sanitasi.
8.
Psikososial.
9.
Pemeliharaan.
10.
Penggunaan Komputer.
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :
·
Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari
tahap perencanaan).
·
Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan
yang membahayakan seperti asbes dll.
·
Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya
misalnya penggunaan warna yang disesuaikan dengan kebutuhan.
·
Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus
untuk objek penting seperti perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu
darurat dll. (peta petunjuk pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang
strategis misalnya dekat lift dll, lampu darurat menuju exit door).
Kualitas Udara :
·
Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang
termometer ruangan.
·
Kontrol terhadap polusi
·
Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan
terhadap kelembaban udara).
·
Pemasangan stiker, poster "dilarang
merokok".
·
Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam
ruang (lokasi udara masuk, ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan
pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal setahun sekali, kontrol
mikrobiologi serta distribusi udara untuk pencegahan penyakit "Legionairre
Diseases ".
·
Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar
kantor). Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan
debu, bau dll. Outdoor: desain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi
syarat kesehatan dan keselamatan, dll.
·
Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian
udara jika AC mati.
·
Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting
mengenali jenis cahaya) :
·
Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan
jenis pekerjaan untuk membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan
aman. (secara berkala diukur dengan Luxs Meter)
·
Membantu penampilan visual melalui kesesuaian
warna, dekorasi dll.
·
Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk
kerja dengan kombinasi cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan
mata).
·
Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan
dalam ruang.
·
Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan
warna yang digunakan.
·
Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di
setiap tangga.
·
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar
bahaya dapat dikenali) :
1.
Internal
2.
Over voltage
3.
Hubungan pendek
4.
Induksi
5.
Arus berlebih
6.
Korosif kabel
7.
Kebocoran instalasi
8.
Campuran gas eksplosif
9.
Eksternal
10.
Faktor mekanik.
11.
Faktor fisik dan kimia.
12.
Angin dan pencahayaan (cuaca)
13. Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan
sehingga terjadi hubungan pendek.
14.
Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
15.
Bencana alam atau buatan manusia.
Rekomendasi
·
Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under
voltage.
·
Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak
berlebihan) hal ini untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan
beban.
·
Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel
yang sesuai dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
·
Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
·
Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
·
Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada
rapat ".
·
Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
·
Hal-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung
dan tata ruang.
·
Display unit (tata ruang dan letak) :
·
Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas
untuk perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi.
·
Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m²).
·
Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
·
Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang
elektromagnetik.
·
Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
·
Tempat untuk istirahat dan shalat.
·
Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
·
Ruang tempat penampungan arsip sementara.
·
Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
Ruang kerja
·
Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang
kerja.
·
Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di upgrade.
Toilet/Kamar mandi
·
Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
·
Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk,
larangan berupa gambar dll.
·
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
·
Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
Kantin
·
Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup
kepala, celemek, sarung tangan dll).
·
Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
·
Lantai tetap terpelihara.
·
Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya
tidak menggunakan minyak goreng secara berulang.
·
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
·
Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan
dengan pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
Psikososial
·
Petugas keamanan ditiap lantai.
·
Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
·
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
1.
Budaya nrimo.
2.
Sistem pelaporan macet.
3.
Ketakutan melaporkan.
4.
Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
·
Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan
spiritual secara berkala minimal sebulan sekali.
·
Penegakan disiplin ditempat kerja.
·
Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
·
Menggalakkan olah raga setiap jumat.
Pemeliharaan
·
Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester,
dengan memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan
dan kemungkinan terjadinya.
·
Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai
dengan ketentuan.
·
Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
·
Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya
bom/kebakaran/demostrasi/ bencana alam serta Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang
penggunaan komputer)
Pergunakan komputer secara
sehat, benar dan nyaman :
Hal-hal yang harus diperhatikan
:
·
Memanfaatkan kesepuluh jari.
·
Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
·
Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
·
Lakukan peregangan sudut lampu 45º.
·
Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari
belakang.
·
Sudut pandang 15º, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
·
Kursi ergonomis (adjusted chair).
·
Jarak meja dengan paha 20 cm
·
Senam waktu istirahat.
Rekomendasi
·
Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan
komputer disetiap unit kerja.
·
Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat
poster/leaflet.
·
Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).
Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal
penting yakni indoor dan outdoor.
Baik perhatian terhadap konstruksi gedung
beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta
kode pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas
udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat),
hygiene dan sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain mengenai
penggunaan komputer.
Hal diatas tidak hanya
meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi keselamatan karyawan/pekerja dalam
melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini
dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan K3 khususnya di perkantoran
HSE
HSE (Health, Safety,
Environment) atau di beberapa perusahaan
juga di sebut EHS, HES, SHE, K3LL (Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lindung
Lingkungan) dan SSHE (Security, Safety, Health, Environment). Semua itu adalah
suatu departemen atau bagian dari struktur organisasi Perusahaan yang mempunyai
fungsi pokok terhadap implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan, Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan
serta Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan yang mengeksploitasi Sumber Daya
Alam ditambah dengan peran terhadap Lingkungan (Lindungan Lingkungan).
Membicarakan HSE bukan sekedar
mengetengahkan Issue seputar Hak dan Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output,
yaitu korelasinya terhadap Produktivitas Keryawan. Belum lagi antisipasi
kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena kesalahan prosedur ataupun
kesalahan pekerja itu sendiri (naas).
Dasar Hukum
Ada minimal 53 dasar hukum
tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang Lingkungan yang ada di Indonesia.
Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama,
dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, disana
terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja, Pengawasan,
Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga
Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan Ketentuan
Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan
K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
1.
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha.
2.
Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
3.
Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun
1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918, tidak
hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi Usaha yang bermotif sosial pun
(usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan Instalasi Listrik dan atau
Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting dan
kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua, UU
No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour
Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947). Saat
ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan
memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia (sumber:
www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini,
salah satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun
1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian profesi Pengawas
Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur dalam pasal 4 dan
pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi:
“Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal
86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban
penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan Sistem
Manajemen Perusahaan.”
Keempat, Peraturan
Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen K3. Dalam
Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasal ini, berfungsi sebagai
Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di Amerika
atau BS 8800 di Inggris.
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Kesehatan dan keselamatan kerja
(K3) merupakan alat maupun instrumen
yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar
dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi
yang wajib di penuhi oleh perusahaan.
K3 bertujuan
mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero
accident). Penerapan konsep ini tidak boleh di anggap sebagai upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya
(cost) perusahaan, melainkan harus di anggap sebagai bentuk investasi jangka
panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Bagaimana K3
dalam perspektif hukum? Ada tiga aspek utama hukum K3 yaitu norma keselamatan,
kesehatan kerja, dan kerja nyata.
Norma
keselamatan kerja merupakan sarana atau alat untuk mencegah terjadinya
kecelakaan kerja yang tidak di duga yang di sebabkan oleh kelalaian kerja serta
lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep ini di harapkan mampu menihilkan
kecelakaan kerja sehingga mencegah terjadinya cacat atau kematian terhadap
pekerja, kemudian mencegah terjadinya kerusakan tempat dan peralatan kerja.
Konsep ini juga mencegah pencemaran lingkungan hidup dan masyarakat sekitar
tempat kerja.Norma kesehatan kerja di harapkan menjadi instrumen yang mampu
menciptakan dan memelihara derajat kesehatan kerja setinggi-tingginya.
K3 dapat
melakukan pencegahan dan pemberantasan penyakit akibat kerja, misalnya
kebisingan, pencahayaan (sinar), getaran, kelembaban udara, dan lain-lain yang
dapat menyebabkan kerusakan pada alat pendengaran, gangguan pernapasan,
kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat sinar
ultraviolet, kanker kulit, kemandulan, dan lain-lain. Norma kerja berkaitan
dengan manajemen perusahaan. K3 dalam konteks ini berkaitan dengan masalah
pengaturan jam kerja, shift, kerja wanita, tenaga kerja kaum muda, pengaturan
jam lembur, analisis dan pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain. Hal-hal
tersebut mempunyai korelasi yang erat terhadap peristiwa kecelakaan kerja.
Eksistensi K3
sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa, terutama
Inggris, Jerman dan Perancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era
ini di tandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin
produksi menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai
operator. Penggunaan mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah
berlipat ganda di bandingkan dengan yang di kerjakan pekerja sebelumnya
Revolusi Industri. Namun, dampak penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran
serta risiko kecelakaan dalam lingkungan kerja. Ini dapat menyebabkan cacat
fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat menimbulkan kerugian material yang
besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga di tandai oleh semakin banyak
ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat membahayakan keselamatan dan
kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident) serta masyarakat dan
lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3
belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Pada era ini kecelakaan kerja
hanya di anggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan
tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini di perkuat dengan konsep common law
defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian),
fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi
resiko) (Tono, Muhammad: 2002).
Kemudian konsep ini berkembang
menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha,
buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.Dalam
konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan
kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah
Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang di tandai dengan penerbitan
Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah
kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan
bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang di atur secara terpisah berdasarkan
masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor
perhubungan yang mengatur lalu lintas perkeretaapian seperti tertuang dalam
Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen
Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian
dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan
Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi
Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan
Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi
Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi
bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena
Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan
keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai
dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama
pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan
pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut
mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk
pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang
Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara
eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja
atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi
sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam
konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13
Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta
peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di atas,
regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain
seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik),
perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional
sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia
(HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya
sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa.
Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika
negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup.
Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan
mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada
urutan pertama sebagai syarat investasi.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Perkantoran
Di era golbalisasi menuntut
pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap tempat kerja
termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengem-bangkan dan
meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko
kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan
produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan
sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak terkecuali di Rumah
Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya di tempat
kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang
paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana
kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris
mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan tersebut
berupa nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada
5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya
hubungan kausal antara pemajanan gas anestesi dengan gejala neoropsikologi
antara lain berupa mual, kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan.
Di perkantoran, sebuah studi
mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan bahwa 312 responden
ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka
umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan
16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan
bahwa upaya kesehatan kerja wajib diseleng-garakan pada setiap tempat kerja,
khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi
pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan
masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal,
sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN
PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada beberapa hal penting yang
harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan pelaksanaan K3 perkantoran, yang
pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua) hal yaitu indoor dan outdoor, yang
kalau diurai seperti dibawah ini :
1.
Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan
operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
2.
Jaringan elektrik dan komunikasi.
3.
Kualitas udara.
4.
Kualitas pencahayaan.
5.
Kebisingan.
6.
Display unit (tata ruang dan alat).
7.
Hygiene dan sanitasi.
8.
Psikososial.
9.
Pemeliharaan.
10.
Penggunaan Komputer.
PERMASALAHAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :
·
Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari
tahap perencanaan).
·
Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan
yang membahayakan seperti asbes dll.
·
Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya
misalnya penggunaan warna yang disesuaikan dengan kebutuhan.
·
Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus
untuk objek penting seperti perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu
darurat dll. (peta petunjuk pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang
strategis misalnya dekat lift dll, lampu darurat menuju exit door).
Kualitas Udara :
·
Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang
termometer ruangan.
·
Kontrol terhadap polusi
·
Pemasangan "Exhaust Fan" (perlindungan
terhadap kelembaban udara).
·
Pemasangan stiker, poster "dilarang
merokok".
·
Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam
ruang (lokasi udara masuk, ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan
pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal setahun sekali, kontrol
mikrobiologi serta distribusi udara untuk pencegahan penyakit "Legionairre
Diseases ".
·
Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar
kantor). Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan
debu, bau dll. Outdoor: desain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi
syarat kesehatan dan keselamatan, dll.
·
Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian
udara jika AC mati.
·
Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting
mengenali jenis cahaya) :
·
Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan
jenis pekerjaan untuk membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan
aman. (secara berkala diukur dengan Luxs Meter)
·
Membantu penampilan visual melalui kesesuaian
warna, dekorasi dll.
·
Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk
kerja dengan kombinasi cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan
mata).
·
Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan
dalam ruang.
·
Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan
warna yang digunakan.
·
Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di
setiap tangga.
·
Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar
bahaya dapat dikenali) :
1.
Internal
2.
Over voltage
3.
Hubungan pendek
4.
Induksi
5.
Arus berlebih
6.
Korosif kabel
7.
Kebocoran instalasi
8.
Campuran gas eksplosif
9.
Eksternal
10.
Faktor mekanik.
11.
Faktor fisik dan kimia.
12.
Angin dan pencahayaan (cuaca)
13. Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan
sehingga terjadi hubungan pendek.
14.
Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
15.
Bencana alam atau buatan manusia.
Rekomendasi
·
Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under
voltage.
·
Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak
berlebihan) hal ini untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan
beban.
·
Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel
yang sesuai dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
·
Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
·
Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
·
Di depan pintu ruang rapat diberi tanda " harap tenang, ada
rapat ".
·
Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
·
Hal-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung
dan tata ruang.
·
Display unit (tata ruang dan letak) :
·
Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas
untuk perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi.
·
Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m²).
·
Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
·
Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang
elektromagnetik.
·
Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
·
Tempat untuk istirahat dan shalat.
·
Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
·
Ruang tempat penampungan arsip sementara.
·
Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
Ruang kerja
·
Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang
kerja.
·
Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di upgrade.
Toilet/Kamar mandi
·
Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
·
Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk,
larangan berupa gambar dll.
·
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
·
Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
Kantin
·
Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup
kepala, celemek, sarung tangan dll).
·
Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
·
Lantai tetap terpelihara.
·
Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya
tidak menggunakan minyak goreng secara berulang.
·
Penyediaan bak sampah yang tertutup.
·
Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan
dengan pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.
Psikososial
·
Petugas keamanan ditiap lantai.
·
Reporting system (komunikasi) ke satuan pengamanan.
·
Mencegah budaya kekerasan ditempat kerja yang disebabkan oleh :
1.
Budaya nrimo.
2.
Sistem pelaporan macet.
3.
Ketakutan melaporkan.
4.
Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar.
·
Semua hal diatas dapat diatasi melalui pembinaan mental dan
spiritual secara berkala minimal sebulan sekali.
·
Penegakan disiplin ditempat kerja.
·
Olah raga di tempat kerja, sebelum memulai kerja.
·
Menggalakkan olah raga setiap jumat.
Pemeliharaan
·
Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester,
dengan memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan
dan kemungkinan terjadinya.
·
Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai
dengan ketentuan.
·
Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai.
·
Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya
bom/kebakaran/demostrasi/ bencana alam serta Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.
Aspek K3 perkantoran (tentang
penggunaan komputer)
Pergunakan komputer secara
sehat, benar dan nyaman :
Hal-hal yang harus diperhatikan
:
·
Memanfaatkan kesepuluh jari.
·
Istirahatkan mata dengan melihat kejauhan setiap 15-20 menit.
·
Istirahat 5-10 menit tiap satu jam kerja.
·
Lakukan peregangan sudut lampu 45º.
·
Hindari cahaya yang menyilaukan, cahaya datang harus dari
belakang.
·
Sudut pandang 15º, jarak layar dengan mata 30 – 50 cm.
·
Kursi ergonomis (adjusted chair).
·
Jarak meja dengan paha 20 cm
·
Senam waktu istirahat.
Rekomendasi
·
Perlu membuat leaflet/poster yang berhubungan dengan penggunaan
komputer disetiap unit kerja.
·
Mengusulkan pada Pusat Promosi Kesehatan untuk membuat
poster/leaflet.
·
Penggunaan komputer yang bebas radiasi (Liquor Crystal Display).
Dalam pelaksanaan K3 perkantoran perlu memperhatikan 2(dua) hal
penting yakni indoor dan outdoor.
Baik perhatian terhadap konstruksi gedung
beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta
kode pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas
udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat),
hygiene dan sanitasi, psikososial, pemeliharaan maupun aspek lain mengenai
penggunaan komputer.
Hal diatas tidak hanya
meningkatkan dari sisi kesehatan maupun sisi keselamatan karyawan/pekerja dalam
melakukan pekerjaan di tempat kerjanya.
Harapannya rekomendasi ini
dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan K3 khususnya di perkantoran
HSE
HSE (Health, Safety,
Environment) atau di beberapa perusahaan
juga di sebut EHS, HES, SHE, K3LL (Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lindung
Lingkungan) dan SSHE (Security, Safety, Health, Environment). Semua itu adalah
suatu departemen atau bagian dari struktur organisasi Perusahaan yang mempunyai
fungsi pokok terhadap implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (SMK3) mulai dari Perencanaan, Pengorganisasian, Penerapan dan Pengawasan
serta Pelaporannya. Sementara, di Perusahaan yang mengeksploitasi Sumber Daya
Alam ditambah dengan peran terhadap Lingkungan (Lindungan Lingkungan).
Membicarakan HSE bukan sekedar
mengetengahkan Issue seputar Hak dan Kewajiban, tetapi juga berdasarkan Output,
yaitu korelasinya terhadap Produktivitas Keryawan. Belum lagi antisipasi
kecelakaan kerja apabila terjadi Kasus karena kesalahan prosedur ataupun
kesalahan pekerja itu sendiri (naas).
Dasar Hukum
Ada minimal 53 dasar hukum
tentang K3 dan puluhan dasar hukum tentang Lingkungan yang ada di Indonesia.
Tetapi, ada 4 dasar hukum yang sering menjadi acuan mengenai K3 yaitu:
Pertama,
dalam Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, disana
terdapat Ruang Lingkup Pelaksanaan, Syarat Keselamatan Kerja, Pengawasan,
Pembinaan, Panitia Pembina K-3, Tentang Kecelakaan, Kewajiban dan Hak Tenaga
Kerja, Kewajiban Memasuki Tempat Kerja, Kewajiban Pengurus dan Ketentuan
Penutup (Ancaman Pidana). Inti dari UU ini adalah, Ruang lingkup pelaksanaan
K-3 ditentukan oleh 3 unsur:
1.
Adanya Tempat Kerja untuk keperluan suatu usaha.
2.
Adanya Tenaga Kerja yang bekerja di sana
3.
Adanya bahaya kerja di tempat itu.
Dalam Penjelasan UU No. 1 tahun
1970 pasal 1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918, tidak
hanya bidang Usaha bermotif Ekonomi tetapi Usaha yang bermotif sosial pun
(usaha Rekreasi, Rumah Sakit, dll) yang menggunakan Instalasi Listrik dan atau
Mekanik, juga terdapat bahaya (potensi bahaya tersetrum, korsleting dan
kebakaran dari Listrik dan peralatan Mesin lainnya).
Kedua, UU
No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 Concerning Labour
Inspection in Industry and Commerce (yang mana disahkan 19 Juli 1947). Saat
ini, telah 137 negara (lebih dari 70%) Anggota ILO meratifikasi (menyetujui dan
memberikan sanksi formal) ke dalam Undang-Undang, termasuk Indonesia (sumber:
www.ILO.org). Ada 4 alasan Indonesia meratifikasi ILO Convention No. 81 ini,
salah satunya adalah point 3 yaitu baik UU No. 3 Tahun 1951 dan UU No. 1 Tahun
1970 keduanya secara eksplisit belum mengatur Kemandirian profesi Pengawas
Ketenagakerjaan serta Supervisi tingkat pusat (yang diatur dalam pasal 4 dan
pasal 6 Konvensi tersebut) – sumber dari Tambahan Lembaran Negara RI No. 4309.
Ketiga, UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Paragraf 5 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pasal 86 dan 87. Pasal 86 ayat 1berbunyi:
“Setiap Pekerja/ Buruh mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas (a)
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.”
Aspek Ekonominya adalah Pasal
86 ayat 2: ”Untuk melindungi keselamatan Pekerja/ Buruh guna mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.”
Sedangkan Kewajiban
penerapannya ada dalam pasal 87: “Setiap Perusahaan wajib menerapkan Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang terintegrasi dengan Sistem
Manajemen Perusahaan.”
Keempat, Peraturan
Menteri Tenaga Kerja RI No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen K3. Dalam
Permenakertrans yang terdiri dari 10 bab dan 12 pasal ini, berfungsi sebagai
Pedoman Penerapan Sistem Manajemen K-3 (SMK3), mirip OHSAS 18001 di Amerika
atau BS 8800 di Inggris.
No comments:
Post a Comment